Menjaga Kewarasan di Tengah Badai Distraksi Teknologi

Ervan M Wirawan
4 min readFeb 15, 2021

--

Sebagian kita memulai hari dengan bangun pagi karena bising alarm dari smartphone yang bertubi-tubi.

Sebagian lagi memulai hari dengan bangun pagi karena biological clock mereka sudah secara otomatis menjadi alarm-nya.

Hal pertama yang kita lakukan pada umumnya adalah mengambil ponsel, lalu tenggelam di dalam lautan notifikasi, berselancar mencari tahu pesan yang terlewat karena mimpi, dan terkaget! sadar sudah mepet lewat waktu ibadah Subuh (Ini mungkin gw aja keknya, lol).

Photo by Torsten Dederichs on Unsplash

Kita semua, secara umum, mungkin menghabiskan 42% waktu dalam hidup untuk terus-menerus memandangi layar; ponsel ataupun komputer. Gw contohnya.. sudah terdistraksi layar monitor sedari 20 tahunan yang lalu, mulai dari permainan komputer Cat Vs. Dog, SMS-SMS dari adek kelas SMA yang gw taksir dulu sampai ke tumpukan layers komponen User Interface Design untuk projek klien sekarang.

Lagi pula, “Internet”, dewasa ini, mengambil peran besar dalam kehidupan kita semua. Dalam sekejap saja, kita bisa terhubung dengan orang lain di belahan dunia berbeda. Sepanjang sejarah, kita pastilah berada di masa-masa paling terkoneksi satu sama lain berkat perkembangan teknologi.

Sayangnya, terpangkasnya jarak berkat teknologi ini juga meningkatkan keadaan cemas hingga kesepian. Tak pelak, semua orang sibuk dengan ponselnya masing-masing, menciptakan dunia sendiri yang tak bakal bisa dijamah dan dimasuki oleh orang lain. Benar bila ia disebut mendekatkan jarak. Namun sayangnya, ia juga menciptakan jarak baru yang bahkan bisa jadi terasa lebih “jauh”.

Melalui bukunya, Lost Connections, Johann Hari menyebutkan bahwa selama 40 tahun terakhir, kasus kecemasan dan depresi terus bermunculan dan dialami oleh banyak orang. Sehubungan dengan media sosial, kasus-kasus ini menjadi sorotan yang cukup kompleks dan menarik.

Johann mengilustrasikan hubungan antara media sosial dan kehidupan sosial manusia ibarat film porno dan hubungan seks. Sekalipun kita melihat film porno yang paling menggoda sekalipun, kita hanya akan menumpuk perasaan tidak puas. Artinya, ia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan paling dasar dalam kehidupan seks kita yang sebenarnya.

Hmmm, sepertinya paragraf di atas harus dibaca oleh kawanan orang yang suka sekali bilang, “Bagi link, Gan!” setiap kali ada skandal seks tersebar di media sosial!

Manusia — menurut Johann Hari — tidak didesain untuk terbiasa bertatap muka lewat layar. Panggilan telepon video tidak bakal membuat kita merasa benar-benar sedang bertemu. Ratusan pesan masuk tidak lantas membuat kita merasa benar-benar “utuh”. Masih menurut Johann, kita semua punya kebutuhan untuk merasa dilihat dan dihargai.

Photo by Christian Wiediger on Unsplash
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Sekhidmat-khidmatnya kita ngobrol lewat Zoom, tingkat ma’rifat-nya tetap berbeda ketika kita ngobrol tentang hal-hal kecil di angkringan, sembari mengangkat satu kaki ke bangku, menyatu dengan bau gorengan yang dibakar lagi.

Ryan Holiday, melalui bukunya, Stillness is the Key, mengungkapkan hal yang sama; bahwa sesungguhnya kita terlalu banyak terdistraksi waktu pada teknologi ponsel dan media sosial. Tak heran, dalam beberapa masa, sering kali kita merasa ketidakpastian, cemas, dan disconnected, bahkan dengan seluruh teknologi yang bisa mengoneksikan kita dengan jutaan orang lainnya.

Nyatanya, hidup kita memang sibuk, kok. Dalam hari libur sekalipun, pasti kita merasa ada saja hal yang harus dikerjakan, walau itu cuma sebatas scroll Twitter dan menyimak debat argumen para SJW. Kepentingan ini bertumpuk setiap hari dan justru menyusahkan kita untuk “menemukan diri sendiri”.

Terlebih ditengah kondisi pandemi seperti sekarang ini yang memaksa kita untuk mengasingkan diri satu dengan yang lain.

Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Setidaknya, ada beberapa langkah yang bisa kita maksimalkan untuk tetap “bertahan” di tengah gempuran badai pesan elektronik dan teknologi yang kian membuat kita merasa sendirian.

Pertama, berhentilah sejenak. Kenali emosi yang mengalir dalam tubuh dan keinginanmu sendiri. Jangan abaikan perasaanmu; apakah kamu membutuhkan perhatian atau justru sedang ingin menepi?

Kedua, berikan validasi atas kebutuhanmu, lalu penuhilah. Seluruh perasaan dan keinginanmu, baik dalam hal fisik, mental, spiritual, atau emosional, adalah penting dan patut diperhatikan.

Ketiga, akui semua hal yang membuatmu lebih manusiawi. Perjuanganmu, jatuh bangun, perasaan lemah, atau menjadi sensitif adalah rangkaian perasaan emosi manusia yang wajar untuk dirasakan.

Keempat, habiskan waktu lebih banyak mengenal alam. Lepaskan ketergantungan pada ponselmu sebentar. Simpan ia di laci selagi kamu tengah berusaha “menemukan” diri sendiri. Menulislah bila perlu. Manfaatkan jeda waktu ini sebaik mungkin, sembari mengistirahatkan otakmu dari pesatnya teknologi.

Kelima, berada bersama seseorang akan membantumu terhindar dari distraksi. Bagaimanapun, berhubungan lebih dalam dengan orang lain adalah hal paling indah dari kemanusiaan, kan?

Selain lima hal di atas, kamu bisa melakukan banyak langkah lainnya untuk menjaga kewarasan diri. Menyibukkan diri dengan berkreasi, misalnya, atau beribadah jika kamu menjadikannya sebagai bagian besar hidupmu. Bermainlah. Menjelajahlah. Kesendirian akibat distraksi teknologi mungkin melelahkanmu, tapi ketahuilah satu hal: kamu selalu boleh dan berhak beristirahat.

Ubud, 15 February 2021

--

--